Rabu, 09 Maret 2016

Puisi Tentang Doa Karya Chairil Anwar



Puisi yang berjudul “Doa” karya Chairil Anwar ini mengambil tema tentang ketuhanan. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa penggalan bait yang ada di dalam puisi tersebut. Kata Doa merupakan sebuah tanda ketika hambanya berkomunikasi dengan Tuhannya, penggunaan kata lainnya seperti, Tuhanku, nama-Mu, mengingat Kau, di pintu-Mu, caya-Mu.

 
Puisi ini seolah olah mengajak kita sang pembaca untuk lebih dekat dengan Tuhannya karena pada akhirnya semua akan kembali kepadaNya. Seperti yang ada pada bait ini “Pengembara di Negeri Asing”. Puisi ini juga menggambarkan perasaan yang sangat rindu. Perasaan tersebut tergambar melalui kata di dalam puisi “Doa” ini diantaranya yaitu : Aku hilang bentuk, termenung, menyebut namaMu, remuk, aku tak bisa berpaling. 


Puisi ini mengajarkan tentang  kehidupan yang penuh perjuangan dan dimana perjuangan itu harus diiringi dengan doa. Jika hal itu tidak dilakukan secara bersamaan, maka semuanya akan sia-sia dan apa yang kita cita-citakan tidak akan bisa terwujud. Hal ini diperjelas melalui bait berikut ini: Di pintuMu aku mengetuk, Aku tidak bisa berpaling.


















Doa
Karya: Chairil Anwar
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Cayamu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling








Puisi Tentang Anak "Anakmu Bukanlah Milikmu" Karya Kahlil Gibran


Puisi Tentang Anak berjudul "Anakmu Bukanlah Milikmu" yang ditulis Oleh Kahlil Gibran. Dari puisi dibawah ini kita bisa menyimpulkan arti retorika puisi bahwa hubungan antara orangtua dan anak hanya memberikan arahan dan bimbingan tetapi bukan memaksakan keinginan dan pemikirannya.

Setelah membaca puisi yang ada dibawah, Kahlil Gibran mengatakan bahwa anak-anak bukanlah milik orang tuanya. Anak-anak punya kehidupan sendiri. Memang betul anak-anak lahir melalui orang tuanya, tapi bukan orang tuanya yang memberi anak-anak itu kehidupan, Tuhanlah yang memberikannya. Anak-anak hanya dititipkan oleh Tuhan kepada orang tua mereka. Dan meski orang tua sudah merawat dan membesarkan anak-anaknya, namun mereka bukan hak orang tua untuk menguasainya.

Kahlil Gibran mengatakan bahwa orang tua boleh (bahkan wajib) memberikan kasih sayangnya kepada anak-anak. Namun itu bukan berarti orang tua boleh memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya atas nama kasih sayang. Orang tua juga tidak layak memaksakan pikirannya, karena anak-anak (sebagai manusia yang utuh) mempunyai pemikiran sendiri.

Orang tua boleh memberikan anak-anaknya rumah untuk badan mereka, tapi bukan sangkar untuk jiwa mereka. Anak-anak punya masa depan yang diimpikannya sendiri, dan orang tua tidak berhak untuk mengatur masa depan anak-anaknya itu. Bahkan sekedar niat pun tidak boleh. Mengarahkan ke jalur yang baik memang boleh, tapi bukan mengatur masa depan anak-anaknya.

Apapun yang dilakukan oleh anak semuanya telah merupakan ketetapan yang maha Kuasa. Kita simak puisinya terlebih dahulu sebagai berikut :









Anakmu Bukanlah Milikmu - By Kahlil Gibran
Anak adalah kehidupan,
Mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal Darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan Pikiranmu
karena mereka Dikaruniai pikiranya sendiri

Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya,
Karena jiwanya milik masa mendatang
Yang tak bisa kau datangi
Bahkan dalam mimpi sekalipun

Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah
Menuntut mereka jadi seperti sepertimu.
Sebab kehidupan itu menuju kedepan, dan
Tidak tengelam di masa lampau.

Kaulah busur,
Dan anak – anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian.
Dia menantangmu dengan kekuasaan-Nya,
hingga anak panah itu meleset,
jauh serta cepat.

Meliuklah dengan sukacita
Dalam rentangan Sang Pemanah,sebab Dia
Mengasihi anak- anak panah yang meleset laksana kilat,
Sebaimana pula dikasihiNya busur yang mantap

Orang tua, bagi Kahlil Gibran, hanyalah sebuah busur. Dan anak-anaknya adalah anak panah. Busur hanya bisa berarti atau bermakna jika ia melepas anak panahnya. Biarkan anak panah itu melesat mengejar target berupa mimpi dan cita-citanya.

Tuhan, menurut Kahlil Gibran, mencintai anak panah (anak-anak) yang berjalan lurus menuju targetnya, sebagaimana Tuhan juga mencintai busur (orang tua) yang selalu mendukung setiap kegiatan positif anaknya demi mencapai cita-cita yang diinginkan anaknya.

Puisi ini sangat dramatis, kontroversial, keterlaluan, sekaligus bagai bom yang meledak di telinga orang tua. Kebanyakan orang tua selalu ingin menguasai anak-anaknya sebagai miliknya yang bisa mereka atur semaunya.