Puisi Tentang Anak berjudul "Anakmu Bukanlah Milikmu" yang ditulis Oleh Kahlil Gibran. Dari puisi dibawah ini kita bisa menyimpulkan arti retorika puisi bahwa hubungan antara orangtua dan anak hanya memberikan arahan dan bimbingan tetapi bukan memaksakan keinginan dan pemikirannya.
Setelah membaca puisi yang ada dibawah, Kahlil Gibran mengatakan bahwa anak-anak bukanlah milik orang tuanya. Anak-anak punya kehidupan sendiri. Memang betul anak-anak lahir melalui orang tuanya, tapi bukan orang tuanya yang memberi anak-anak itu kehidupan, Tuhanlah yang memberikannya. Anak-anak hanya dititipkan oleh Tuhan kepada orang tua mereka. Dan meski orang tua sudah merawat dan membesarkan anak-anaknya, namun mereka bukan hak orang tua untuk menguasainya.
Kahlil Gibran mengatakan bahwa orang tua boleh (bahkan wajib) memberikan kasih sayangnya kepada anak-anak. Namun itu bukan berarti orang tua boleh memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya atas nama kasih sayang. Orang tua juga tidak layak memaksakan pikirannya, karena anak-anak (sebagai manusia yang utuh) mempunyai pemikiran sendiri.
Orang tua boleh memberikan anak-anaknya rumah untuk badan mereka, tapi bukan sangkar untuk jiwa mereka. Anak-anak punya masa depan yang diimpikannya sendiri, dan orang tua tidak berhak untuk mengatur masa depan anak-anaknya itu. Bahkan sekedar niat pun tidak boleh. Mengarahkan ke jalur yang baik memang boleh, tapi bukan mengatur masa depan anak-anaknya.
Apapun yang dilakukan oleh anak semuanya telah merupakan ketetapan yang maha Kuasa. Kita simak puisinya terlebih dahulu sebagai berikut :
Anakmu Bukanlah Milikmu - By Kahlil Gibran
Anak adalah kehidupan,
Mereka sekedar lahir
melaluimu tetapi bukan berasal Darimu.
Walaupun bersamamu
tetapi bukan milikmu,
Curahkan kasih sayang
tetapi bukan memaksakan Pikiranmu
karena mereka Dikaruniai
pikiranya sendiri
Berikan rumah untuk
raganya, tetapi tidak jiwanya,
Karena jiwanya milik
masa mendatang
Yang tak bisa kau
datangi
Bahkan dalam mimpi
sekalipun
Bisa saja mereka mirip
dirimu, tetapi jangan pernah
Menuntut mereka jadi
seperti sepertimu.
Sebab kehidupan itu
menuju kedepan, dan
Tidak tengelam di masa
lampau.
Kaulah busur,
Dan anak – anakmulah
anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah Maha Tahu
sasaran bidikan keabadian.
Dia menantangmu dengan
kekuasaan-Nya,
hingga anak panah itu
meleset,
jauh serta cepat.
Meliuklah dengan
sukacita
Dalam rentangan Sang
Pemanah,sebab Dia
Mengasihi anak- anak
panah yang meleset laksana kilat,
Sebaimana pula
dikasihiNya busur yang mantap
Orang tua, bagi Kahlil Gibran, hanyalah sebuah busur. Dan anak-anaknya adalah anak panah. Busur hanya bisa berarti atau bermakna jika ia melepas anak panahnya. Biarkan anak panah itu melesat mengejar target berupa mimpi dan cita-citanya.
Tuhan, menurut Kahlil Gibran, mencintai anak panah (anak-anak) yang berjalan lurus menuju targetnya, sebagaimana Tuhan juga mencintai busur (orang tua) yang selalu mendukung setiap kegiatan positif anaknya demi mencapai cita-cita yang diinginkan anaknya.
Puisi ini sangat dramatis, kontroversial, keterlaluan, sekaligus bagai bom yang meledak di telinga orang tua. Kebanyakan orang tua selalu ingin menguasai anak-anaknya sebagai miliknya yang bisa mereka atur semaunya.
Mampir di blog ku yuk :)
BalasHapusditunggu ya mbak untuk postingan-postingan selanjutnya
BalasHapus